Beranda | Artikel
Safinatun Naja: Seputar Hukum Haidh dan Nifas
Sabtu, 4 Desember 2021

Kali ini adalah bahasan dari Safinatun Naja tentan hukum haidh dan nifas.

 

[Haidh dan Nifas]

أًقَلُّ الْحَيْضِ: يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.

وَغَالِبُهُ: سِتٌّ أَوْ سَبْعٌ.

وَأَكْثَرُهُ: خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْماً بِلَيَالِيْهَا.

أَقَلُّ الطُّهْرِ بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ: خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمَاً.

وَغَالِبُهُ: أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْنَ يَوْمَاً، أَوْ ثَلاَثَةٌ وَعِشْرُوْنَ يَوْمَاً.

وَلاَ حَدَّ لأَكْثَرِهِ.

أَقَلُّ النِّفَاسِ: مَجَّةٌ. وَغَالِبُهُ: أَرْبَعُوْنَ يَوْمَاً. وَأَكُثَرُهُ: سِتُّوْنَ يَوْمَاً.

Fasal: Lama minimalnya haidh adalah sehari semalam. Umumnya adalah enam atau tujuh hari. Lama maksimalnya adalah lima belas hari lima belas malam.

Masa suci minimal antara dua haidh adalah lima belas hari. Umumnya waktu suci adalah dua puluh empatatau dua puluh tiga hari. Sedangkan waktu suci paling lama adalah tidak dibatasi.

Masa nifas paling sedikit adalah  setetes darah. Umumnya lama nifas adalah empat puluh hari. Lama nifas paling maksimal adalah enam puluh hari.

 

Catatan dari pendapat madzhab Syafii mengenai haidh dan nifas

  • Minimal darah haidh adalah sehari semalam, 24 jam darah itu terus ada. Ini adalah hasil istiqra’ (penelaahan) dari Imam Syafii rahimahullah. Lamanya haidh secara umum dan lama maksimalnya juga hasil penelaahan. Umumnya lamanya haidh adalah enam atau tujuh hari. Maksimal lamanya darah haidh adalah 15 hari. Jika kurang dari 24 jam, darah tersebut dianggap sebagai istihadhah. Jika lebih dari 15 hari, darah dianggap sebagai istihadhah
  • Hukum istihadhah adalah tidak mencegahnya untuk melakukan shalat, puasa, dan sebagainya yang dilarang bagi wanita haidh.
  • Yang dilakukan wanita istihadhah: (1) membasuh kemaluannya dan ditutup dengan pembalut, (2) berwudhu setiap kali masuk waktu shalat, (3) segera mengerjakan shalat. Apabila diundur pelaksanaan shalat tanpa ada maslahat shalat, seluruh perbuatan tersebut harus diulang. Di setiap kali shalat fardhu, tiga hal tersebut harus diulang. Sebagaimana wajib pula bagi wanita istihadhah untuk mengulangi wudhu setiap kali shalat fardhu.
  • Paling sedikit masa suci yang merupakan pemisah antara dua masa haidh adalah 15 hari 15 malam. Namun, pemisah antara haidh dan nifas dapat terjadi kurang dari itu, bahkan terkadang tidak ada masa suci di antara keduanya, seperti bila bersambung masa kelahirannya dengan akhir masa haidhnya, tanpa adanya masa suci. Karena menurut pendapat terkuat, wanita hamil masih mungkin mengalami haidh.
  • Umumnya masa suci adalah sisa dari satu bulan setelah dikurangi masa haidh. Sehingga jika masa haidhnya enam hari, masa sucinya 24 hari. Jika masa haidhnya dianggap tujuh hari, masa sucinya 23 hari.
  • Maksimal lamanya suci tidaklah dibatasi. Hal itu disepakati oleh para ulama karena terkadang seorang wanita sepanjang tahun tidak mengalami haidh.
  • Lamanya nifas paling minimal adalah setetes dari darah. Karenanya, masa nifas paling minimal adalah lahzhah, sekejap.
  • Lamanya nifas secara umum adalah empat puluh hari empat puluh malam, baik perhitungan malamnya itu maju ataukah mundur.
  • Lama maksimal masa nifas adalah enam puluh hari enam puluh malam, baik perhitungan malamnya itu maju ataukah mundur. Jika nifas lebih dari enam puluh hari, darah tersebut dianggap sebagai istihadhah.

Semua kesimpulan di atas adalah hasil istiqra’ (penelaahan) dari Imam Syafii rahimahullah.

Lihat Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja, hlm. 201-204.

 

Memahami darah haidh

Haidh itu warnanya hitam dan memiliki bau yang khas. Itulah yang dimaksud dengan frasa “aswad yu’rof”. Yu’rof (bisa juga dibaca yu’rif) artinya memiliki ‘arfun, yaitu bau yang khas.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Fatimah binti Abi Hubaisy sedang mengalami istihadhah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي, وَصَلِّي

Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam yang memiliki bau yang khas. Jika memang darah itu yang keluar, hendaklah tidak mengerjakan shalat. Namun, jika darah yang lain, berwudhulah dan shalatlah.’” (HR. Abu Daud, no. 286, 304; An-Nasai, 1:185; Ibnu Hibban, no. 1348; Al-Hakim, 1:174. Hadits ini disahihkan oleh sekelompok ulama yaitu Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Hazm, dan Imam Nawawi. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hanya sampai derajat hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:113-115).

 

Perbedaan darah haidh dan darah istihadhah

  • Darah haidh berwarna hitam, darah istihadhah berwarna merah mengarah ke arah kuning.
  • Darah haidh itu kental, sedangkan darah istihadhah itu encer.
  • Darah haidh itu baunya khas, sedangkan darah istihadhah tidak memiliki bau.
  • Darah haidh tidak membeku, sedangkan darah istihadhah bisa membeku.

 

Tanda darah haidh berhenti

  1. Terlihat al-qashshah al-baydha’, yaitu cairan putih keluar dari rahim ketika berhentinya darah haidh.
  2. Terlihat jufuf (kering), yaitu dinilai suci ketika sudah terasa kering. Tandanya adalah dicoba dengan kapas, lalu tidak tampak lagi cairan kuning dan cairan keruh.

Tanda selesainya wanita dari haidh tergantung kebiasaan. Ada wanita yang memiliki tanda dengan keluarnya al-qashshah al-baydha’, ada yang al–jufuf saja, ada juga yang kedua-duanya. Kebanyakan wanita tanda berhentinya adalah al-qashshah al-baydha’, ada juga dengan al-jufuf. Al-qashshah al-baydha’ adalah tanda yang paling terlihat jelas. Jadi, kalau sudah terlihat al-qashshah al-baydha’, tidak perlu lagi menunggu al-jufuf.

Beberapa wanita pernah diutus menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan membawa wadah kecil berisi kapas. Kapas itu terdapat warna kuning. Aisyah pun berkata,

لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ . تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ

“Janganlah terburu-buru (menganggap suci) sampai engkau melihat al-qashshah al-baydha’ (cairan putih).” (HR. Bukhari secara mu’allaq, tanpa sanad).

Catatan:

Jika keluar darah setelah dua minggu suci, tetapi tidak dalam sifat darah haidh, maka tidaklah dihukumi haidh. Keadaan seperti ini tetaplah shalat dan berpuasa hingga darah haidh keluar.

Lihat Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 220644.

 

Hukum flek, kudrah (cairan keruh) dan shufrah (cairan kuning)

  • Jika cairan tersebut keluar pada masa haidh atau bersambung dengan haidh, dihukumi sebagai haidh.
  • Jika keluar di selain masa haidh, dihukumi bukan haidh.

Lihat Mulakhkash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 139.

Dalil dalam hal ini adalah:

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { كُنَّا لَا نَعُدُّ اَلْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ اَلطُّهْرِ شَيْئًا }

Dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Kami tidak menganggap sebagai haidh pada cairan keruh (kudrah) dan warna kekuningan (shufrah) setelah suci.” (HR. Bukhari, no. 326; Abu Daud, no. 308; An-Nasai, no. 1:186)

Al-kudrah adalah warna antara merah dan hitam. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah warna keruh antara kuning dan hitam. Ash-shufrah adalah merah yang mengarah ke warna putih. Akan tetapi, yang dimaksud adalah terlihatnya warna kuning sebagaimana luka (nanah).

 

Kaidah untuk memahami darah haidh dan nifas

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhaj As-Salikin,

وَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ

إِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة

Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya.

Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah.

 Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya haidh. Selama wanita melihat kebiasaan haidhnya terus menerus, maka dihukumi haidh. Jika kurang dari sehari, tetapi darah tersebut terus keluar, maka dihukumi haidh. Begitu pula jika lebih dari tujuh belas hari dan keluar terus menerus, maka dihukumi haidh. Adapun jika darah keluar selamanya terus menerus, diketahui seperti itu bukanlah haidh. Karena sudah diketahui secara syari dan menurut pengertian bahasa, seorang wanita kadang mengalami suci, kadang mengalami haidh. Ketika suci ada hukum tersendiri, begitu pula ketika haidhnya. (Majmu’ah Al-Fatawa, 19:237)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan,

“Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haidh. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (mandi).” (QS. Al-Baqarah: 222). Ayat ini mengandung perintah untuk menjauhi wanita di masa haidhnya, tanpa diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haidh. Jika didapati haidh, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun, jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi.

Menetapkan masa lamanya haidh dengan jangka waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika ada batasan umur wanita mendapati haidh dan jangka waktu lamanya haidh, tentu akan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haidh, maka dihukumi sebagai haidh tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11:271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 65570)

 

Kaidah dalam memahami darah istihadhah

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab beliau Manhaj As-Salikin,

فَقَدْ أَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَجْلِسَ عَادَتَهَا ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا عَادَةٌ فَإِلَى تَمْيِيْزِهَا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَمْيِيْزٌ ، فَإِلَى عَادَةِ النِّسَاءِ الغَالِبَةِ ، سِتَّةِ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ ، وَاللهُ أَعْلَمُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk mengikuti kebiasaan haidh (sebagai patokan). Kalau tidak punya kebiasaan, maka melihat pada perbedaan warna darah (tamyiz). Jika tidak bisa membedakan, maka melihat pada kebiasaan wanita pada umumnya yaitu enam atau tujuh hari. Wallahu a’lam.

Catatan:

Jika ragu akan kebiasaan haidh, juga ragu akan sifat darah haidh yang keluar, artinya tidak bisa membedakan manakah darah haidh, manakah yang bukan, maka jadikan darah haidh tujuh hari. Lama tujuh hari ini lebih dekat pada kebiasaan haidh sebelumnya. Lalu setelah tujuh hari tadi, kemudian mandi, lalu shalat.

Lihat Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 220644.

 

Darah nifas tidak berhenti setelah 40 hari

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Yang tepat, masa nifas tidak ada batasan minimal dan juga tidak ada batasan maksimalnya. Pembicaraan lamanya nifas sama dengan pembicaraan lamanya haidh (artinya, tidak ada batasan minimal ataupun maksimalnya).” (Al-Mukhtarat Al-Jaliyah min Al-Masa-il Al-Fiqhiyyah, hlm. 39).

 

Wanita yang suci pada waktu Ashar, maka cukup mengerjakan shalat Ashar, tanpa shalat Zhuhur

Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah dalil berikut.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)

وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: “سَجْدَةً” بَدَلَ “رَكْعَةً”. ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ

Menurut riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ada hadits serupa, di mana beliau bersabda “sekali sujud” sebagai pengganti dari “satu rakaat”. Kemudian beliau bersabda, “Yang dimaksud sekali sujud itu adalah satu rakaat.” (HR. Muslim, no. 609)

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur.

 

Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh:

  • Jika wanita haidh suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat.
  • Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat.

Dalam Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadat (hlm. 139-140), “Jika wanita haidh suci sebelum keluar waktu, ia hanya diharuskan mengqadha shalat yang ia suci saat itu. Inilah pendapat dalam madzhab Hanafiyah, Zhahiriyah, perkataan sebagian salaf, juga pilihan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.”

Baca juga: Suci pada Waktu Ashar, Apakah Harus Kerjakan Shalat Zhuhur?

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/31076-safinatun-naja-seputar-hukum-haidh-dan-nifas.html